INTAN JAYA - Di lembah sunyi yang diselimuti kabut pegunungan Intan Jaya, tangis dan ketakutan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Kampung Soanggama. Di balik keindahan alamnya, kampung ini menyimpan kisah pilu tentang perjuangan rakyat untuk bertahan hidup di tengah bayang-bayang teror yang terus menghantui mereka.
Sudah bertahun-tahun warga hidup dalam tekanan dan ancaman kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM). Mereka datang membawa senjata, memaksa warga menyerahkan makanan, dan menebar ketakutan di setiap rumah. Di saat sebagian dunia mungkin berbicara tentang kemerdekaan dan perjuangan, masyarakat Soanggama justru hanya menginginkan satu hal sederhana: hidup damai.
“Kami tidak pernah merasa tenang. Kadang malam-malam mereka datang ke kampung, menodong senjata dan meminta makanan. Kalau kami tidak kasih, mereka marah dan memukul warga, ” tutur Yulianus Kogoya, tokoh masyarakat Soanggama, dengan suara bergetar saat ditemui Jumat (31/10/2025).
Bagi Yulianus dan warga lainnya, hari-hari di Soanggama adalah pergulatan antara harapan dan ketakutan. Aktivitas sederhana seperti berkebun, mengajar, atau sekadar menyalakan lampu di malam hari, kini dilakukan dengan rasa cemas. “Kami hanya rakyat biasa. Kami tidak ikut siapa-siapa. Kami cuma ingin hidup tenang dan anak-anak bisa sekolah tanpa takut, ” imbuhnya.
Lebih memilukan lagi, OPM sering menuduh warga sebagai mata-mata aparat keamanan. Tuduhan tanpa dasar itu kerap berujung pada kekerasan dan penghilangan paksa. Mama Lusia Wenda, warga yang suaminya diculik beberapa bulan lalu, menceritakan kisahnya dengan air mata yang tak terbendung.
“Mereka bilang suami saya kasih informasi ke aparat, padahal tidak benar. Sampai sekarang dia tidak pulang. Kami tidak tahu nasibnya, ” ujarnya lirih sambil menatap hampa ke arah hutan tempat suaminya terakhir kali terlihat.
Suara hati masyarakat Soanggama menggema sebagai jeritan nurani dari Tanah Papua. Mereka bukan musuh siapa pun. Mereka adalah bagian dari Indonesia yang merindukan kehidupan yang layak, aman, dan penuh kasih.
“Kami rindu damai. Kalau tidak ada perang, kami bisa tanam sayur, bisa sekolah, bisa tertawa lagi. Kami ingin hidup seperti orang lain di luar sana, ” kata Yulianus menutup perbincangan.
Kini, di tengah guncangan ketakutan dan kehilangan, masyarakat Soanggama tetap berpegang pada satu harapan: bahwa kedamaian suatu hari akan benar-benar menyapa Tanah Papua. Karena di balik luka dan air mata, masih ada cinta yang ingin tumbuh cinta untuk tanah, keluarga, dan masa depan yang damai di bawah langit merah putih.
(MN/AG)

Updates.