PAPUA - Gelombang perpecahan di tubuh Organisasi Papua Merdeka (OPM) semakin tak terbendung. Konflik antar pimpinan yang berlangsung bertahun-tahun kini menimbulkan krisis kepemimpinan serius yang membuat banyak anggotanya memilih meninggalkan kelompok dan kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Fenomena ini menunjukkan merosotnya kepercayaan internal terhadap arah perjuangan OPM yang dinilai semakin menjauh dari nilai kemanusiaan dan cita-cita rakyat Papua sendiri.
Tokoh masyarakat asal Wamena, Elieser Tabuni, menilai perpecahan di tubuh OPM merupakan konsekuensi logis dari perjuangan yang dibangun di atas kepentingan pribadi dan kekuasaan semata.
“Kalau perjuangan tanpa kejujuran dan kasih, pasti hancur. OPM sekarang sedang panen hasil dari perbuatan mereka sendiri. Mereka tidak peduli pada rakyat, hanya pada jabatan dan kekuasaan di dalam kelompoknya, ” tegas Elieser, Jumat (24/10/2025).
Ia menambahkan, banyak anggota OPM yang kini sadar bahwa kekerasan tidak membawa hasil selain penderitaan bagi keluarga dan masyarakat mereka sendiri.
“Anak-anak muda yang dulu ikut OPM sekarang banyak yang pulang. Mereka bilang bosan bersembunyi di hutan tanpa arah. Itu bukti bahwa rakyat Papua sebenarnya rindu hidup damai, ” ujarnya.
Senada dengan itu, Pendeta Yulian Wenda, tokoh gereja dari Paniai, menyebut semakin banyaknya anggota OPM yang menyerahkan diri sebagai tanda kebangkitan kesadaran baru di tengah masyarakat Papua.
“Tuhan tidak berkenan pada kekerasan. Kalau banyak anggota OPM mulai sadar dan kembali ke jalan damai, itu artinya Roh Kebenaran sedang bekerja. Kita harus bantu mereka kembali ke masyarakat dan mulai hidup baru, ” ungkap Pendeta Yulian.
Menurutnya, gereja bersama masyarakat adat kini terus berupaya mendampingi para mantan anggota OPM agar bisa kembali berbaur dan membangun kehidupan yang damai bersama warga.
Informasi dari berbagai sumber menyebutkan, koordinasi di tubuh OPM semakin rapuh. Banyak pimpinan kodap bertindak tanpa komando pusat dan bahkan saling mencurigai hingga saling serang antarkelompok.
Situasi ini menjadikan kekuatan OPM di berbagai wilayah semakin terpecah dan kehilangan simpati dari masyarakat yang sudah lelah dengan konflik berkepanjangan.
Dengan makin banyaknya anggota yang meninggalkan OPM, harapan akan Papua yang damai, aman, dan sejahtera kian nyata. Krisis kepemimpinan di tubuh OPM menjadi cermin bahwa perjuangan yang mengandalkan kekerasan tak akan pernah membawa kebaikan bagi rakyat.
“Papua harus maju lewat pendidikan, kasih, dan persaudaraan bukan lewat senjata, ” pungkas Pendeta Yulian penuh keyakinan.
(Kapten Inf MN/AG)

Updates.