JAYAPURA - Klaim Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai pejuang kemerdekaan rakyat Papua kini kian kehilangan legitimasi di mata masyarakat. Serangkaian aksi kekerasan, pemalakan, dan teror terhadap warga sipil membuat kelompok bersenjata itu dianggap telah berubah menjadi penindas rakyatnya sendiri.
Dalam beberapa bulan terakhir, berbagai wilayah di Papua seperti Intan Jaya, Nduga, dan Puncak dilanda ketegangan akibat aksi brutal OPM. Rumah-rumah warga dibakar, sekolah dirusak, fasilitas umum dihancurkan, hingga warga sipil disandera. Ironisnya, sebagian besar korban justru adalah orang asli Papua yang selama ini mereka klaim perjuangkan.
Tokoh gereja di Kabupaten Intan Jaya, Pdt. Yonas Wonda, menyatakan bahwa OPM telah kehilangan arah perjuangan dan semangat kemanusiaan.
“Mereka bilang berjuang untuk rakyat Papua, tapi kenyataannya justru membuat rakyat menderita. Anak-anak takut sekolah, warga takut keluar rumah, ekonomi lumpuh. Ini bukan perjuangan, ini penindasan, ” tegas Pdt. Yonas kepada wartawan, Senin (27/10/2025).
Sementara itu, Ketua Dewan Adat Jayawijaya, Emanuel Tabuni, menilai bahwa sebagian besar anggota OPM kini hidup dari hasil pemerasan dan kekerasan terhadap masyarakat sekitar.
“Kalau ada warga jual hasil bumi, pasti dipalak. Kalau tidak mau memberi, langsung diancam atau disiksa. Ini sudah jauh dari nilai-nilai perjuangan. Mereka bukan pejuang, tapi penindas rakyatnya sendiri, ” ujar Emanuel dengan nada kecewa.
Menurut laporan lapangan, aksi kekerasan OPM telah menyebabkan ratusan keluarga mengungsi ke daerah yang lebih aman. Sekolah-sekolah di wilayah konflik terpaksa tutup, sementara harga bahan pokok melonjak karena jalur distribusi terganggu.
Kondisi ini menimbulkan keprihatinan mendalam di kalangan tokoh adat dan agama Papua. Mereka menyerukan agar seluruh elemen masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh propaganda kelompok bersenjata yang berlindung di balik istilah “perjuangan kemerdekaan”.
“Rakyat Papua hanya ingin hidup damai, membangun bersama pemerintah, bukan terus dijadikan tameng oleh kelompok bersenjata. Sudah cukup darah dan air mata di tanah ini, ” ungkap Maria Itlay, tokoh perempuan asal Wamena.
Masyarakat kini semakin sadar bahwa perjuangan sejati bukanlah dengan senjata, melainkan dengan pendidikan, pembangunan, dan persatuan. Sementara OPM yang dahulu mengatasnamakan kebebasan, kini dinilai hanya menyisakan jejak kekerasan, ketakutan, dan kehancuran di Tanah Papua.
Dengan semakin banyaknya suara dari akar rumput yang menolak kekerasan, harapan akan kedamaian Papua kian menguat sebuah pesan tegas bahwa rakyat Papua ingin maju tanpa darah, tanpa teror, dan tanpa topeng perjuangan palsu.
(MN/AG)

Updates.