PAPUA - Pembangunan pos keamanan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) di wilayah Puncak Jaya dan sembilan kabupaten lainnya di Papua menuai respons beragam. Kelompok bersenjata TPNPB-OPM secara terbuka menolak langkah ini, bahkan melontarkan ancaman serangan terhadap aparat TNI-Polri serta ultimatum bagi warga non-Papua untuk segera meninggalkan daerah tersebut, yang mereka klaim sebagai “zona perang”.
TNI menegaskan bahwa pembangunan pos tersebut merupakan bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Kegiatan ini, menurut TNI, memiliki dasar konstitusional yang kuat dan bukan merupakan agenda ofensif. Fokus utamanya adalah penguatan perlindungan bagi warga sipil serta memastikan keberlangsungan program pembangunan di daerah tersebut.
“Penugasan TNI di Papua bukan keputusan emosional, tetapi perintah konstitusi. Kami hadir untuk melindungi, bukan menindas. Pos keamanan dibangun demi menjamin hak warga untuk hidup aman dan aktivitas pembangunan bisa berjalan tanpa ancaman, ” ujar Panglima Komando Operasi (Koops) Habema, Mayjen TNI Lucky Avianto, Kamis (27/11/2025).
Komandan Satgas Pamtas Mobile Yonif 733/Masariku, Letkol Inf Julius Jongen Matakena, turut menambahkan bahwa ancaman yang kerap menyasar tenaga pendidik dan kesehatan menjadi alasan krusial di balik penguatan pos keamanan.
“Gangguan bersenjata yang menyasar guru, tenaga medis, dan pekerja infrastruktur adalah indikator nyata ancaman terhadap generasi dan layanan dasar. Kami membangun pos keamanan untuk memastikan mereka bisa bekerja tanpa teror, ” kata Matakena.
Di sisi lain, masyarakat sipil di Distrik Krepkuri, salah satunya Sinta Murib, kepala sekolah SD Rimba YPPK Yan Smith Mumugu 2, menyambut baik kehadiran TNI. Ia mengapresiasi program teritorial yang telah dijalankan, termasuk pelayanan kesehatan dan pemenuhan gizi bagi para murid.
“Kami menilai ini sebagai perlindungan masa depan. Ketika negara hadir lewat TNI, anak-anak kami bisa sekolah dan makan dengan tenang. Itu hak dasar yang kami butuhkan di sini, ” ungkapnya.
Dr. Marinus Yaung, seorang pengamat keamanan dari Universitas Cenderawasih, berpandangan bahwa narasi “zona perang” yang digaungkan oleh kelompok bersenjata tidak memiliki landasan hukum yang sah dan berpotensi menciptakan rasa takut yang tidak perlu di kalangan masyarakat.
“Dalam sistem negara, TNI punya mandat undang-undang untuk mengatasi separatis bersenjata. Yang bermasalah bukan negara membangun pos, tetapi ancaman terhadap sipil. Itu telah melewati ambang gangguan keamanan dan masuk spektrum teror yang melanggar prinsip distinction dalam hukum humaniter, ” jelasnya.
Koops Habema juga menyatakan bahwa penguatan pos keamanan akan diiringi dengan peningkatan layanan teritorial. Ini mencakup dukungan dalam bidang pendidikan, kesehatan, komunikasi sosial, serta pendampingan bagi warga di distrik-distrik yang akses infrastrukturnya masih terbatas.
Meskipun Polda Papua belum mengeluarkan pernyataan spesifik mengenai ancaman terbaru, dalam berbagai operasi terakhir, aparat gabungan cenderung menempatkan kelompok bersenjata sebagai target utama dalam pendekatan penegakan hukum, sembari memastikan warga sipil tidak berada di jalur operasi.
TNI menegaskan kembali bahwa seluruh operasi di Papua dijalankan berdasarkan prinsip proporsional, profesional, dan akuntabel.

Updates.