PAPUA - Di tengah riuh ancaman dan narasi 'zona perang' yang dilancarkan kelompok bersenjata TPNPB–OPM terkait rencana pembangunan pos militer TNI di Puncak Jaya dan sembilan wilayah lainnya, TNI memberikan jawaban tegas. Pemerintah menilai klaim sepihak OPM ini menyesatkan dan membahayakan warga sipil, sebuah tindakan yang tidak hanya melanggar hukum nasional tetapi juga prinsip kemanusiaan.
Ancaman yang disebarkan, termasuk seruan agar warga non-Papua meninggalkan wilayah Pegunungan Tengah dan rencana serangan terhadap aparat, dinilai sebagai upaya provokasi yang mengusik kedamaian. Panglima Komando Operasi TNI Angkatan Darat wilayah Papua, dalam keterangan resmi yang dirilis Rabu (26/11/2025), menegaskan bahwa kehadiran TNI di Papua mengemban mandat negara untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), melindungi masyarakat sipil, dan memastikan kelangsungan pembangunan.
"Ini bukan provokasi, apalagi penindasan. Ini negara hadir, untuk rakyat, " tegasnya, menggarisbawahi peran TNI sebagai alat negara penjaga kedaulatan.
Dasar hukum penegasan TNI merujuk pada Pasal 30 UUD 1945 dan Pasal 7 ayat 2 huruf b UU 34/2004, yang mengklasifikasikan penanganan separatisme bersenjata sebagai bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang sah, terukur, dan profesional. Ini menunjukkan bahwa setiap langkah TNI telah melalui pertimbangan hukum dan dilaksanakan secara profesional.
Di sisi lain, suara masyarakat setempat turut menggemakan harapan akan kedamaian. Pdt. Yulianus Kogoya, tokoh agama Puncak Jaya sekaligus Ketua Persekutuan Dewan Gereja Puncak Jaya, menyampaikan keprihatinan mendalam atas intimidasi yang dilakukan kelompok bersenjata.
"Kami rakyat di Puncak Jaya punya hak untuk hidup aman. Ancaman terhadap guru, pekerja, dan tenaga kesehatan itu yang sesungguhnya menindas kami. Kami meminta semua pihak hentikan kekerasan. Negara hadir via TNI bukan ancaman, tapi perlindungan, " ujarnya, menyoroti dampak nyata kekerasan terhadap kehidupan sehari-hari.
Senada dengan itu, Bapak Marthen Wonda (37), aktivis lokal dan Koordinator Masyarakat Peduli Damai Pegunungan, menegaskan penolakan masyarakat terhadap narasi perang yang dihembuskan OPM. "Kami bukan zona perang. Kami zona berkebun, sekolah, ibadah. Yang bikin takut bukan pembangunan pos TNI, tapi kelompok yang suka tembak-tembak. Kami dukung keamanan, dukung damai, supaya anak-anak bisa tumbuh normal, " tuturnya, menggambarkan kerinduan masyarakat akan kehidupan yang aman dan normal.
Dari sisi penegakan hukum, Kapolda Papua wilayah pegunungan, dalam rilis resmi, menyatakan bahwa tindakan teror dan ancaman yang diarahkan kepada kelompok sipil berpotensi dikualifikasikan sebagai tindak pidana terorisme sesuai UU 5/2018 pemberantasan Terorisme.
"Penyerangan brutal dan ancaman terhadap masyarakat non-kombatan adalah melawan hukum. Aparat akan menindak tegas sesuai koridor undang-undang dengan tetap menjunjung HAM, " bunyi pernyataan tersebut, menggarisbawahi komitmen penegakan hukum dengan tetap menghormati Hak Asasi Manusia.
TNI menegaskan komitmennya untuk terus mengutamakan pendekatan teritorial humanis, sejalan dengan Inpres 9/2020 Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Papua. Mandat ini mengharuskan TNI membantu pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan di wilayah terpencil, menunjukkan peran ganda TNI dalam menjaga keamanan dan mendukung kesejahteraan masyarakat.
Klaim berulang dari kelompok bersenjata mengenai "TNI menindas Papua" dibantah keras oleh masyarakat setempat. Mereka justru menyatakan bahwa kekerasan, teror, dan ultimatum terhadap sipil adalah bentuk penindasan nyata yang mereka alami. Di bawah pohon cemara di Mbua, honai-honai berdiri diam, saksi bisu dari upaya menjaga kedamaian. Loreng yang berdiri di kejauhan, bagi mereka, adalah penjaga, bukan penindas.

Updates.